I.PENDAHULUAN
Pertanian
merupakan ujung tombak bagi perekonomian di berbagai negara, namun demikian
kondisi berbanding tidak sewajarnya. Kondisi Yang ada dalam pertanian Indonesia
menimbulkan pertanyaan besar bagi para
pakar yang bergelut dalam bidang
pertanian termasuk pemerintah. Yang disorotkan di berbagai kebijakan makro
yaitu fiskal, moneter, Investasi maupun perdagangan, sama sekali tidak
mementingkan dan mendorong secara nyata di bidang pertanian. Kebijakan yang di
terapkan terlalu monoton perkotaan dan industrian yaitu tekstil, otomotif,
petrokimia, dan lainnya hanya mendorong proses konglomerasi sehingga merapuhkan
pondasi perekonomian nasional.
Adanya diskriminasi politik terhadap
sektor pertanian tersebut sangatlah jelas, padahal disadari ataupun tidak bahwa
perekonomian nasional masih bertumpu pada sektor pertanian. Munculnya peran
Agrobisnis pertanian sangatlah setrategis ini dapat di lihat dari sumbangannya
pada PDB nasional yang cukup besar mencapai 12%, penyediaan kesempatan kerja
yang tinggi mencapai 60% dari total keseluruhan tenaga kerja bahkan lebih dari
itu pertanian juga sebagai sumber penyedia sandang dan pangan bagi masyarakat
secara keseluruhan untuk bahan industri , sumber devisa, sekaligus pasar
potensi bagi produk manufaktur. Disisi lain pertanian juga memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap stabilitas nasional melalui penciptaan
ketahanan pangan.
Terjepitnya
percepatan pembangunan dalam bidang pertanian selama merdeka hinga saat ini
mengakibatkan pertanian negeri kita tertinggal dari beberapa negara lain.
Kondisi seperti ini akan berjalan terus menerus jika percepatan pembangunan
dalam sektor pertanian tidak segera di kembangkan secara maksimal. Disadari
atau tidak bahwa negara kita merupakan negara agraris yang sangat kaya akan
sumber daya yang terdapat di dalamnya, namun demikian belum ada upaya yang
maksimal untuk mengolah sumber daya tersebut . Peran serta pemerintah secara
aktif dalam mengatasi ketertinggalan tersebut sangatlah dibutuhkan, bagaimana
tidak ketidak seimbangan kebijakan yang di buat dalam ekonomi secara makro
khususnya dalam bidang pertanian hingga saat ini terlihat jelas bahwa negara
kita selalu tertinggal. Sebagai bangsa yang besar dan kaya akan sumberdaya alam
yang tersedia pastinya belum terlambat untuk memposisikan serta menyusun
strategi di dalam kebijakan nasional untuk mewujudkan “Pertanian Industrial Moderen dan Berkelanjutan”.
II. PEMBAHASAN
Pada
umumnya arah kebijakan makro di indonesia bertumpu pada empat tujuan utama
yaitu menstabilkan kebijakan ekonomi (Price
level stability), menciptakan tenaga kerja secara penuh tanpa invlasi,
menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tangguh, dan menstabilkan nilai tukar.
Melihat berbagai pertimbangan tersebut diharapkan bahwa peran sektor pertanian
harus dipandang sebagai sektor yang sejajar dengan sektor lainnya dan tidak boleh sekedar dijadikan
sebagai sektor pembantu ataupun figuran bagi pembangunan nasional. Terpuruknya
perekonomian nasional tahun 1997 yang dampaknya masih terasa hingga saat ini
membuktikan rapuhnya fundamental ekonomi kita yang kurang bersandar kepada
potensi sumber daya domestik . Pengalaman pahit mengenai krisis moneter dan
ekonomi ini menunjukan bahwa pertanian merupakan sektor yang paling tangguh
dalam menghadapi terpaan yang pada gilirannya memaksa kesadaran publik untuk
mengakui bahwa sektor pertanian merupakan pilihan yang tepat sebagai andalan
dan pilar penggerak ekonomi nasional. Kekeliruan mendasar selama ini karena sektor pertanian hanya diperlakukan
sebagai sektor pendukung yang mengemban peran konvensionalnya dengan berbagai
misi titipan yang cenderung hanya untuk mengamankan kepentingan makro yaitu
dalam kaitan dengan stabilitas ekonomi nasional melalui swasembada beras dalam
konteks ketahanan pangan nasional.
Secara
implisit sebenarnya stabilitas nasional negeri ini di bebankan kepada petani
yang sebagian besar masih tetap berada di dalam perangkap keseimbangan
lingkaran kemiskinan jangka panjang (the low level equilibrium trap). Pada hakekatnya
sosok pertanian yang harus dibangun adalah berwujud pertanian modern yang
tangguh, efisien yang dikelola secara profesional dan memiliki keunggulan
memenangkan persaingan di pasar global baik untuk tujuan pemenuhan kebutuhan
dalam negeri maupun ekspor (sumber devisa). Dengan semakin terintegrasinya
perekonomian indonesia ke dalam perekonomian dunia, menuntut pengembangan
produk pertanian harus siap menghadapi persaingan terbuka yang semakin ketat
agar tidak tergilas oleh pesaing-pesaing luar negeri. Untuk itu paradigma
pembangunan pertanian yang menekankan pada peningkatan produksi semata harus
bergeser ke arah peningkatan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani dan
aktor pertanian lainnya dengan sektor agroindustri sebagai sektor pemacunya (leverage
factor).
A. Agroindsutri bagi pertumbuhan ekonomi
Pada dasarnya terdapat tiga jalur pilihan memacu industrialisasi dan
pertumbuhan ekonomi:
(a) industrialisasi yang mengandalkan industri berbasis luas (broad-based
industry),
(b) industri berteknologi canggih dan rumit (hi-tech industry) dan bernilai
tambah tinggi,
(c) industrialisasi berbasis pertanian yang didukung pertanian
tangguh(agro-industry).
Agroindusti dapat dikatakan sebagai sektor
yang di unggulkan karena memiliki keterkaitan yang besar yaitu :
·
produknya mempunyai nilai elastisitas permintaan akan pendapatan yang
relatif tinggi sehingga makin besar pendapatan masyarakat, akan makin terbuka
pasar bagi produk agroindustri.
·
kegiatannya bersifat ”resource base
industry”sehingga dukungan dengan potensi sumberdaya alam yang besar merupakan
keung-gulan komparatif dan kompetitif dengan pasar global.
·
Menggunakan input yang renewable sehingga keberlangsungan (sustainability)
kegiatannya lebih terjamin.
·
Memiliki basis di pedesaan sehingga lebih berakar pada kegiatan ekonomi
pedesaan.
Dengan demikian pengembangan agroindustri tidak hanya ditujukan untuk
pengembangan kegiatan agroindustri itu sendiri, tetapi sekaligus untuk
mendorong kegiatan budidaya (on-farm agribusiness) dan kegiatan-kegiatan lain
dalam sistem agribisnis secara keseluruhan melalui efek multiplier (direct,
indirect and induced). Hal ini dapat memberikan pengaruh yang sangat besar bagi
pencapaian berbagai tujuan pembangunan. Peranan Agro industri memberikan
sumbangan besar di bidang pertanian sekaligus sebagai sumber devisa negara.
Namun demikian peran Agroindustri di negara kita tidak di sorot sebagai bagian
yang penting oleh pemerintah sehingga keberlanjutannya tidak dapat
menyumbangkan kontribusi yang maksimal.
B. Rapuhnya Politik
Ekonomi Pertanian Indonesia
Kecenderungannya ekonomi
Indonesia berkembang terlepas dari basis sumberdaya yang ada. Industri
dikembangkan dengan dasar ketergantungan yang sangat tinggi terhadap barang
modal dan bahan baku impor yang justru menguras sumber devisa negara.
Reformasi ekonomi yang digulirkan seharusnya tidak bisa meninggalkan sektor
pertanian yang menjadi kegiatan ekonomi yang paling banyak digeluti rakyat.
Selama ini dimensi kebijakan makro yang memper-hatikan sektor pertanian melemah
dalam kurun waktu lebih dari dua dekade setelah swasembada beras. Mungkin
karena merasa ekonomi nasional dapat didukung oleh sektor industri walaupun
tanpa disadari berkembang dengan fondasi yang rapuh. Pada hakekatnya pertanian
adalah sumber utama dari keseluruhan pertumbuhan ekonomi bahkan sebagai batu
penjuru (cornerstone) dari pengurangan kemiskinan. Revitalisasi pertanian perlu
ditekankan pada peningkatan kapasitas produksi dan pemasaran pertanian (market
driven) dengan meningkatkan
(a) akses terhadap teknologi dan pengetahuan,
(b) akses pengusaha dan petani terhadap kapital,
(c) kapasitas jaringan komoditi untuk memfasilitasi perluasan perdagangan.
Kita menyadari tujuan-tujuan
pengurangan kemiskinan dan kelaparan, pertumbuhan yang luas, ketahanan pangan
dan manajemen sumberdaya alam yang sustainable tidak dapat diwujudkan tanpa
pembangunan pedesaan serta perbaikan ekonomi pertanian. Oleh karena itu petani
miskin yang merupakan pelaku ekonomi dengan jumlah terbesar harus diberdayakan,
bukan justru dianggap “tidak ada” atau perlu “dihilangkan”. Sejalan dengan itu
tuntutan keliru Badan Internasional yang berimplikasi pada “meredupnya daya
saing” pertanian Indonesia dengan mengikuti hukum-hukum persaingan
internasional yang mengharamkan subsidi harus dicermati dengan cerdas.
Kebijakan yang mempajak
pertanian dalam rangka memperoleh surplus yang lebih besar secara implisit dan
eksplisit telah terbukti “counter productive” untuk mendorong pertumbuhan dan
penyediaan kesempatan kerja. Demikian pula kebijakan pangan murah sangat buruk
dalam jangka panjang.
Dengan berkembangnya iklim liberalisasi perdagangan dan investasi pada akhir
1980-an dan awal 1990-an yang melahirkan kesepakatan-kesepakatan WTO, AFTA,
APEC menyebabkan Indonesia harus mengijinkan impor berbagai komoditi pertanian
tanpa bea masuk atau bea masuk rendah yang nyaris menghancurkan pasar dalam
negeri komoditi-komoditi pertanian Indonesia.
Nasib Indonesia seperti halnya
Asia Timur, krisis keuangan disebabkan “free exit of capital” yang dimulai
dengan devaluasi yang manipulatif dari nilai tukar. Devaluasi menyebabkan
investasi luar negeri merosot nilainya sehingga kapital luar negeri ditarik
keluar, pasar kolaps menyebabkan peningkatan cepat dari NPL (non-performing
loans), kerugian bank, bankrut yang berakhir pada kegagalan sistem perbaikan
struktural. Devaluasi mata uang mempengaruhi fundamental hubungan “Supply –
Demand” dalam sistem perekonomian nasional.
Kurang optimalnya kinerja sektor pertanian dalam 20 tahun terakhir harus
menjadi pengalaman pahit bagi Indonesia yang harus dijadikan pelajaran berharga
untuk mereorientasi dan mereformasi platform kebijakan pembangunan ekonomi dan
pertanian nasional.
C. Kebijakan Ekonomi Makro di Sektor Pertanian
1. Kebijakan Mengimpor beras
Kebijakan impor beras yang diambil
pemerintah bukan menjadi solusi malah menjadi polemik hangat bagi masyarakat.
Di tinjau dari tujuan pemerintah mengimpor beras memang tidaklah salah yaitu menjaga stok Perusahaan Umum Badan Urusan
Logistik (Perum Bulog) agar konsumsi masyarakat bisa terjamin hingga awal tahun
depan serta menjaga kestabilan harga di pasar. Namun demikian Impor beras seolah olah menunjukkan bahwa
Pemerintah kembali gagal dalam membela nasib para petani. Kegagalan ini
memperlihatkan bahwa sebenarnya kinerja pemerintah dalam hal ini departemen
pertanian belum cukup baik. Indikator makro ekonomi sektor pertanian Indonesia
selama periode pemerintahan kali ini menunjukkan kinerja yang cukup
menggembirakan. Data BPS menunjukkan PDB sektor pertanian tahun 2006 tumbuh
4,12% merupakan pertumbuhan tertinggi setelah masa pemulihan krisis ekonomi.
Dari sisi sebagai katup pengaman terhadap ancaman pengangguran pun, sektor ini
juga telah menunjukkan peran pentingnya, data BPS menunjukkan pertumbuhan
penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tahun 2005 sebesar 2,97% lebih tinggi
dibanding sektor non pertanian yang hanya sebesar 0,04%. Kemampuan menjaga
harga gabah yang memberikan insentif bagi petani pun cukup baik, data empiris
menunjukkan sepanjang tahun 2005 sampai April 2006 harga gabah petani selalu di
atas harga pembelian pemerintah. Data-data ini secara tidak langsung
menginformasikan kepada kita bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah yang
protektif untuk petani era 2004- pertengahan 2006 seperti larangan impor beras
dan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah, subsidi pupuk, penyerapan gabah
petani oleh pemerintah melalui program LUEP (Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan)
dan berbagai kebijakan protektif lainnya memang cukup berhasil memperbaiki
kinerja ekonomi makro sektor pertanian. Tetapi walaupun demikian,
indikator-indikator makro ekonomi sektor pertanian yang layak diberi apresiasi
tersebut ternyata belum berkorelasi dengan kesejahteraan petani.
2. Keebijakan subsidi pupuk dan HPP
gabah.
Pemerintah dalam prakteknya
memberikan subsidi untuk komoditas barang private, seperti pupuk. Dampak dari
pemberian subsidi tersebut telah mendorong penggunaan pupuk secara nasional
yang cukup pesat dari tahun 0,63 juta ton menjadi 5,5 juta ton tahun 2009. Pada
saat yang sama produksi padi meningkat dari 18 juta ton menjadi 60,2 juta ton.
Seiring dengan itu, penggunaan pupuk Urea di tingkat petani telah mencapai
200-500 kg/ha, banyak yang melampaui rekomendasi, walaupun penggunaan pupuk
lainnya masih di bawah rekomendasi. Hal ini menyebabkan inefisiensi penggunaan
pupuk terus meningkat. Subsidi pupuk berpengaruh terhadap penggunaan pupuk yang
pada akhirnya berdampak terhadap peningkatan produktifitas padi. Mengingat
intensitas penggunaan pupuk pada usaha tani padi saat ini cenderung melebihi
dosis rekomendasi ,sehingga perlu dilakukan adalah memberikan pamahaman kepada
petani untuk menerapkan penggunaan pupuk secara berimbang. Dalam kondisi
demikian, subsidi pupuk dapat dikurangi secara bertahap dengan konsekuensi
harus menaikan HET pupuk secara bertahap pula. Namun tetap menjaga secara
proporsional dengan HPP gabah agar tidak berpengaruh negatif terdadap produksi
padi nasional. Kebijakan ini masih belum menjamin ketrsediaan pipuk yang
memadai dengan HET yang telah ditetapkan. Di lapangan masih sering trjadi
berbagai kasus antara lain : (a) kelangkaan pasokan pupuk yang menyebabkan
harga aktual melebihi HET, dan (b) marjin pemasaran lebih tinggi dari yang
telah ditetapkan pemerintah. Selain itu, perencanaan alokasi kebutuhan pupuk
yang belum sepenuhnya tepat , pengawasan yang belum maksimal, disparitas harga
pupuk bersubsidi dan non-subsidi yang cukup besar menyebabkan penyaluran pupuk
bersubsidi masih belum tepat sasaran. Pemberian subsidi pupuk mungkin berguna
untuk mengurangi ongkos usahatani, namun kurang bermanfaat dalam memacu
peningkatan produksi maupun laba usahatani. Karena sebagian besar subsidi pupuk
hanya dinikmati oleh petani yang memiliki lahan luas. Artinya kebijakan yang
telah di lakukan oleh pemerintah tidak berpengaruh terhadap keseluruhan
masyarakat sehingga akan memberikan dampak yang negatif bagi kesejahteraan masyarakat luas sehingga
akan berimbas terhadap masalah makro.
3. Program Swasembada beras
Program swasembada beras yang
dilakukan pemerintah dinilai belum
mengarah pada swasembada yang berkelanjutan. Pemerintah telah menargetkan
swasembada, tapi malah melupakan proses dan pengembangan kelembagaan. Swasembada
berarti tingkat produksi sama dengan permintaan tanpa disertai kenaikan harga
dan negara secara leluasa bisa mengekspor. Untuk mencapai program swasembada
beras perlu adanya lembaga khusus untuk
mengamankan produksi beras sehingga mencapai swasembada yang berkelanjutan. Pemerintah
juga harus melakukan intervensi terhadap produksi untuk melayani permintaan
beras yang terus meningkat. Dari sisi produksi, orientasinya tak hanya peningkatan
karena biaya peningkatan produktivitas pertanian relatif mahal. "Air, pupuk, pestisida, benih, dan
tenaga kerja. Selanjutnya, tingkat konsumsi beras masyarakat perlu ditekan.
Konsumsi beras di Indonesia saat ini tertinggi di dunia, mencapai 139 kilogram
per orang per tahun.
Anggaran pemerintah untuk pangan
seharusnya tak semuanya diberikan ke Kementerian Pertanian. Kementerian lain
yang berpotensi meningkatkan diversifikasi pangan, seperti Kehutanan dan
Perikanan, juga perlu diperhatikan. Karena itu juga merupakan sumber pendapatan
nasional penting yang harus di prioritaskan. Keputusan impor pemerintah menuai
kejanggalan bagi masyarakat. Sebab, sesuai dengan hukum ekonomi, seharusnya
kalau produksi meningkat, maka harga akan rendah dan pemerintah tidak perlu
impor. Tapi kenyataannya, tahun ini pemerintah sudah membuka keran impor. Pada
awal Juli yang lalu, Badan Pusat Statistik merilis berdasarkan Angka Ramalan
II, produksi beras naik 2,4 persen atau sebanyak 68,06 juta ton Gabah Kering
Giling. Jumlah ini berarti bertambah 1,59 juta ton dibanding 2010 yang besarnya
66,47 juta ton Gabah Kering Giling.
Kenaikan produktifitas beras juga
diiringi dengan kenaikan harga beras yang sudah jauh melebihi harga beras internasional.
Jika di bandingkan dengan harga beras negara lain mencapai US$ 800 per ton.
Dalam pasar dunia, harga ini sudah mencapai yang tertinggi dan dianggap
memasuki krisis pangan. Sementara di Indonesia, pada 2011 diperkirakan harga
beras menyentuh US$ 1.100 per ton.
4.Program Penyuluhan pertanian
Penyuluhan
Pertanian berupaya membantu masyarakat agar mereka dapat membantu dirinya
sendiri dan meningkatkan harkatnya sebagai manusia yang mengacu pada kebutuhan
sasaran petani yang akan dibantu. Penyuluhan pertanian mengarah pada
terciptanya kemandirian petani dan mengacu kepada perbaikan kualitas hidup dan
kesejahteraan petani. Dari pandangan tersebut terkandung pengertian bahwa
penyuluhan pertanian harus bekerja dengan masyarakat dan bukan bekerja untuk
masyarakat. Penyuluhan Pertanian mampu
mendorong semakin terciptanya kreativitas dan kemandirian masyarakatat agar
semakin memiliki kemampuan untuk berswadaya, swakarsa, swadana dan swakelola
bagi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pertanian guna mencapai tujuan, harapan
dan keinginan-keinginan sasaran agar selalu mengacu pada terwujudnya perbaikan
kesejahteraan ekonomi masyarakat dalam ketrpurukannya.
Sasaran
penyuluhan pertanian adalah segenap warga masyarakat (pria, wanita, termasuk
anak-anak). Penyuluhan pertanian juga mengajar masyarakat tentang apa
yang diinginkannya dan bagaimana cara mencapai keinginan-keinginan itu. Metode
yang diterapkan dalam penyuluhan pertanian adalah belajar sambil bekerja dan
mengajarkan pada petani untuk percaya pada apa yang dilihatnya. Sedangkan pola
komunikasi yang dikembangkan adalah komunikasi dua arah, saling menghormat dan
saling mempercayai dalam bentuk kerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarkat.
Penyuluh
pertanian harus mampu menumbuhkan cita-cita yang dilandasi untuk selalu
berfikir kreaif dan dinamis yang mengacu pada kegiatan-kegiatan yang ada dan
dapat ditemui di lapangan atau harus selalu disesuaikan dengan keadaan
yang dihadapi.
Program
ini akan efektif apabila mengacu pada minat dan kebutuhan masyarakat. Harus
dikaji secara mendalam apa yang harus menjadi minat dan kebutuhan yang dapat
menyenangkan setiap individu maupun segenap masyarakat. Penyuluh pertanian
harus mengetahui kebutuhan apa saja yang dapat dipenuhi dengan
ketersediaan sumberdaya yang ada. Dengan demikin akan dapat diprioritaskan
minat serta kebutuhan yang mana yang diutamakan dalam kegitan penyuluhan. Layanan
sistim penyuluhan didasarkan pada pemikiran bahwa individu petani memiliki
keterbatasan dalam mengakses teknologi dan dalam mengadopsinya untuk
meningkatkan manajemen usahataninya serta memperbaiki kehidupan ekonominya.
D. Tuntutan Politik Ekonomi Pertanian Ke Depan
Sebenarnya kontribusi
pertumbuhan pertanian jauh lebih proporsional terhadap pembangunan ekonomi
daripada pertumbuhan industri karena “multiplier effects” pertumbuhan pertanian
terhadap perekonomian domestik lebih besar. Banyak studi menunjukkan bahwa
pertanian merupakan sektor yang paling efektif untuk mengurangi kemiskinan
perdesaan dan perkotaan yang distribusi pendapatannya sangat timpang. Tingkat
harga riil yang memadai secara berkelanjutan pada tingkat petani (farm gate)
merupakan salah satu kunci pertumbuhan pertanian yang pada gilirannya
mengurangi kemiskinan.
Dalam konteks demikian ada 5 (lima) kelompok kendala yang harus diperhatikan
dalam kebijakan pertanian dan perdesaan :
(1) Modal sumberdaya manusia : tingkat pendidikan rendah dan kurang pelatihan
dalam aspek yang relevan dengan kerja bisnisnya.
(2) Modal Sosial : rendahnya tingkat komunitas atau organisasi petani produsen
merefleksikan ketidak mampuan memobilisasi upaya-upaya kepentingan bisnis
pertaniannya dengan cara kerjasama/ asosiasi.
(3) Infrastruktur Fisik : kurang memadainya jalan, fasilitas, komuni-kasi,
suplai energi, air irigasi, alat mesin pertanian.
(4) Infrastruktur Kelembagaan : lemahnya riset dan penyuluhan pertanian, kurang
berkembangnya sistem pembayaran/ transaksi perdesaan, kurang memadainya aturan
dan kelembagaan untuk penetapan hak kepemilikan dan penyelesaian
konflik-konflik hak, lemahnya sistem kontrak.
(5) Modal Fisik Privat : tidak memadainya skala usaha dan infra-struktur
irigasi, modal investasi atau Bank Pertanian.
Untuk membangkitkan kembali
peran sektor pertanian, diperlukan dukungan politik yang bermuara kepada upaya
pengentasan kemiskinan (Pro-poor), perluasan kesempatan berusaha (pro-job),
peningkatan pertumbuhan (pro-growth) dan kelestarian lingkungan.Pemerintah
dituntut bertanggung jawab melalui peran konkrit untuk :
(a) melindungi hak kepemilikan pelaku agribisnis (kecil , menengah, besar)
melalui legislasi dan regulasi termasuk menjamin hak-hak dalam kontrak
agribisnis antar pelaku (tanah, pekerja, pemasaran, supervisi pembiayaan)
(b) mendorong dan meningkatkan kompetisi (daya saing) dengan memfasilitasi
faktor-faktor pendukung kompetisi terhadap produk bangsa lain
(c) penyediaan barang publik seperti riset pertanian, teknologi, informasi dan
infrastruktur termasuk peran kontroversial redistribusi aset, stabilisasi
harga, absorbsi resiko petani dan penyediaan kredit pertanian berbunga rendah
seperti halnya yang dilakukan bangsa lain sebesar 3 – 6 %/tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Dernburg, and Dougall.1983. Macroeconomics : The
Measurement, Analysis, and Control of Aggregate Economic Activity.
McGraw-Hill International Book Company: London.
Froyen, R.T.1993. Macroeconomics : Theories and Policies.
University of North Carolina at Chapel Hill, Macmillan Publishing Company: New
York.
Halwani,R Hendra.2005.Ekonomi Internasional dan Globalisasi.Ghalia Indonesia : Bogor.
Herlambang,Tedy, dkk.2001.Ekonomi Makro: Teori, Analisis dan Kebijakan. Gramedia : Jakarta.
Tambunan,Tulus T.H.2001.Perekonomian Indonesia.Ghalia Indonesia
: Jakarta.
Warjiyo,fery. 2004. Mekanisme Transmisi Kebijakan
Moneter di Indonesia. Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar