Perubahan Paradigma Pembangunan di
Indonesia
A.
Pengertian
Paradigma merupakan kumpulan tata nilai yang membentuk pola
pikir seseorang sehingga mempengaruhi citra subyektif seseorang mengenai
realita dan dapat menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita tersebut.
Sedangkan pembangunan adalah proses jangka panjang untuk meningkatkan
pendapatan nasional. Pengaruh paradigma terhadap pembangunan dapat mempengaruhi
keberhasilan, merumuskan permasalahan dan menentukan model pembangunan. Dalam
pergeserannya meliputi pergeseran paradigma global dan pergeseran paradigma
pembangunan. Pembangunan merupakan proses jangka panjang untuk meningkatkan
pendapatan nasional yang pada dasarnya butuh perubahan dan pertumbuhan. Paradigma
pembangunan Cara pandang terhadap suatu persoalan pembangunan yang dipergunakan dalam
penyelenggaraan pembangunan dalam arti
pembangunan baik sebagai proses maupun sebagai metode untuk mencapai peningkatan kualitas kehidupan
manusia dan kesejahteraan rakyat.
Paradigma pembangunan selalu
dan harus berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan tuntutan jaman dan
permasalahan. Terjadinya krisis yang besar sering dan memaksakan munculnya
paradigma baru. Tanpa paradigma baru, krisis yang sama dan lebih besar akan
terjadi lagi.
Indonesia sebelum tahun
1966 juga cenderung menggunakan sistim perencanaan terpusat, yang mengabaikan
mekanisme pasar. Ditambah dengan situasi ”perang” melawan Amerika Serikat,
Inggris, dan negara tetangga (Malaysia dan Singapura), situasi ekonomi di awal
1960s sangat kacau. Telah terjadi hiper-inflasi, kenaikan harga yang amat
cepat. Rata-rata harga di Desember 1965 tujuh kali lipat rata rata harga di
Desember 1964. Bayangkan pada bulan Desember 1964, sejumlah uang dapat
menghidupi suami istri dengan lima orang anak. Namun, dengan harga yang menjadi
tujuh kali lipat, uang yang sama itu hanya dapat membiayai satu anggota
keluarga.
Di saat itu lah muncul
paradigma baru untuk perekonomian Indonesia. Pada tanggal 10 Agustus 1963,
Prof. Dr. Widjojo Nitisastro dalam pengukuhannya sebagai guru besar Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia menyampaikan pidato yang berjudul ”Analisa
Ekonomi dan Perencanaan Pembangunan”. Kalau di saat ini mahasiswa ekonomi
Fakultas Ekonomi UI membaca pidato ini, mungkin mereka akan merasa bahwa yang
disampaikan oleh Widjojo Nitisasatro tidak hebat, biasa biasa saja. Mereka
semua, para mahasiswa itu, tentu sudah amat faham dengan yang disampaikan dalam
pidato itu.
Namun, kita perlu melihat
situasi yang terjadi di awal tahun 1960-an. Widjojo Nitisastro dan kawan kawan
di Fakultas Ekonomi UI menghadapi situasi yang jauh berbeda dengan saat ini.
Kekuasaan politik saat itu sangat curiga pada Amerika Serikat, sementara
Widjojo dan kawan kawan menyelesaikan studinya di Amerika Serikat. Lebih
lanjut, Widjojo menyarankan perubahan paradigma. Di jaman itu politik adalah
panglima. Sukarno, presiden Indonesia waktu itu, tidak menghargai analisis
ekonomi. Dalam suasana seperti itulah, dalam pidatonya, Widjojo Nitisastro
menyarankan pentingnya analisis ekonomi untuk Indonesia. Lebih lanjut, Widjojo
Nitisastro memperkenalkan penggunaan mekanisme pasar dalam kebijakan
pembangunan Indonesia. Ia tidak menyerahkan kepada pasar sepenuhnya, tetapi
bagaimana mengkombinasikan perencanaan dari pemerintah pusat dan kekuatan pasar.
Pada saat sekarang ini,
tentu saja, analisis ekonomi dan penggunaan pasar sudah menjadi barang tiap
hari, dan bukan barang baru lagi untuk Indonesia. Namun, saat itu,
memperkenalkan analisis ekonomi dan penggunaan pasar merupakan tabu politik.
Kalau Keynes memperkenalkan
peran serta pemerintah kepada dunia yang percaya sepenuhnya ke pasar pada tahun
1930-an, Widjojo memperkenalkan sistem pasar pada perencanaan pembangunan.
Keduanya melakukan kombinasi pasar dan campur tangan pemerintah. Widjojo Nitisastro
boleh dikatakan sebagai seorang Keynesian, pengikut pemikiran Keynes.
Seperti halnya dengan J. M.
Keynes, ide Widjojo Nitisastro juga sulit diterapkan karena pada saat itu tak
ada dukungan dari elit politik. Bukan hanya tak ada dukungan, bahkan, saat itu,
elit politik memusuhi Widjojo Nitisstro dan ide idenya. Baru kemudian, setelah
terjadi perubahan politik, dari Sukarno ke Suharto, ide perubahan paradigma
tersebut mendapat dukungan politik. Suharto mendukung penuh ide Widjojo
Nitisastro. Bahkan, akhirnya, sebagian besar Ketetapan MPRS Nomor XXIII/ 1966
yang kemudian menjadi landasan hukum pembangunan ekonomi Indonesia di awal
Order Baru, berasal dari ide Widjojo Nitisastro dan kawan kawan di Fakultas
Ekonomi UI. Tentu saja, di jaman sekarang, pemikiran tersebut bukanlah hal yang
luar biasa, seperti juga bahwa pemikiran Keynes sudah menjadi hal yang sehari
hari bagi para ekonom dan mahasiswa ekonomi.
Kemampuan dan keberanian
Widjojo Nitisastro untuk memulai sesuatu yang baru tidak bermula di tahun 60-an.
Dalam penulisan disertasinya, Widjojo Nitisastro juga melakukan sesuatu yang
waktu itu masih amat langka. Disertasinya (tahun 1961) berjudul ”Migration,
Population Growth, and Economic Development: a Study of the Economic
Consequences of Alternative Pattern of Inter-island Migration”. Selain
disertasi, studi Widjojo Nitisastro mengenai demografi juga menghasilkan buku
Population Trends in Indonesia, yang kemudian menjadi amat terkenal dalam
kepustakaan demografi di Indonesia.
Di jaman sekarang,
mahasiswa demografi akan merasakan bahwa kedua karya ini sebagai “biasa biasa”
saja, karena mereka, saat ini, telah sangat terbiasa dengan apa yang dilakukan
Widjojo Nitisastro dalam dua buku tersebut. Namun, saat itu, di akhir 1950-an
dan awal 1960-an, data demografi teramat langka, terutama untuk Indonesia.
Widjojo memasuki hutan demografi tanpa angka, dan ia mulai merintis
mengumpulkan dan menghasilkan angka.
Kemudian, setelah Widjojo
Nitisastro menjadi Ketua Tim Bidang Ekonomi dan Keuangan dari Staf Pribadi
Ketua Presidium Kabinet Republik Indonesia, di era politik di bawah Suharto,
pada tahun 1996, hasil karya demografi tersebut dikembangkan oleh Lembaga
Demografi, Fakultas Ekonomi UI, yang didirikan antara lain oleh Widjojo
Nitisastro. Kemudian, data demografi tersebut menjadi dasar yang amat penting
dalam perencanaan pembangunan Indonesia.
Jaman sekarang, situasi,
permasalahan, dan tantangan sudah jauh berbeda dengan apa yang terjadi di jaman
J. M. Keynes, tahun 1930-an, dan jaman Widjojo Nitisastro, tahun 1960-an.
Namun, satu hal yang masih relevan: perubahan paradigma selalu diperlukan,
untuk menghadapi situasi, permasalahan, dan tantangan yang berbeda, terutama di
saat krisis.
Berbagai krisis yang
melanda dunia, dan Indonesia, akhir akhir ini tampaknya juga memerlukan
perubahan paradigma. Adakah paradigma baru dan apakah elit politik akan
mendukung paradigma baru? Indonesia, sebagai anggota G-20, dapat memberikan
sumbangan pemikiran perubahan paradigma pemikiran ekonomi untuk kepentingan
global, termasuk Indonesia. Bedanya, kalau di jaman J. M Keynes dan Widjojo
Nitisastro para ekonom dapat bekerja sendirian dalam pembuatan paradigma baru,
di jaman sekarang, paradigma baru harus merupakan pemikiran yang
inter-disiplin, yang harus melibatkan pemikiran di banyak disiplim ilmu
pengetahuan, bukan hanya ilmu ekonomi.
B.
Perubahan paradigma pembangunan
Paradigma pembangunan
di Indonesia telah
mengalami perubahan. Diawali dari pembangunan berbasis
ekonomi menjadi paradigma
pembangunan berkelanjutan. Gagasan
paradigma pembangunan berkelanjutan
merupakan gagasan yang berupaya untuk memenuhi kebutuhan masa kini,
tanpa mengurangi kebutuhan generasi masa depan. Berpijak dari konsep
pembangunan berkelanjutan tersebut,
terdapat 3 elemen
keberlanjutan yang mendukung masing-masing stakeholders (perusahaan,
pemerintah dan masyarakat)
yaitu 1) keberlanjutan ekonomi, 2)
keberlanjutan sosial, dan 3) keberlanjutan
lingkungan.
Dalam menghadapi persaingan bisnis
dan perubahan paradigma
pembangunan, maka perusahaan harus memiliki strategi untuk keberlangsungan bisnisnya. Salah satu strategi tersebut dikonsep dalam bentuk
tanggung jawab sosial perusahaan. Tanggung jawab
sosial perusahaan atau lebih
dikenal dengan istilah Corporate Social
Responsibility (CSR) merupakan
bentuk pengembangan dari konsep kedermawanan
sosial. Sebagai sebuah
konsep yang semakin
popular, Corporate Social Responsibility ternyata
belum memiliki definisi
yang tunggal. The Word
Business Council for
Sustainable Development (WBCSD)
dalam publikasinya
mendefinisikan bahwa
Corporate Social Responsibility
merupakan komitmen dunia usaha
untuk terus menerus
bertindak secara etis,
beroperasi secara legal dan
berkontribusi untuk peningkatan
ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas
hidup dari karyawan
dan keluarganya sekaligus
juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih
luas. Sementara Europan Commision mengemukakan:“Corporate Social Responsibility is
a concept whereby
companies integrate sosial and
environmental concerns in
their business operations
and in their interaction with their Stakeholderss on
a voluntary basis” Dari dua definisi konsep di atas, dapat diketahui
bahwa Corporate Social Responsibility belum memiliki suatu kesepakatan
mengenai definisi bakunya. Hal ini dapat
dimaklumi, mengingat Corporate
Social Responsibility adalah
sebuah konsep yang berkembang
dengan cepat, sehingga
definisinya pun bisa
berubah.
|
Menyesuaikan dengan perkembangannya. Namun
demikian, kendati tidak mempunyai definisi tunggal, konsep
Corporate Social Responsibility menawarkan sebuah kesamaan, yaitu keseimbangan
antara per hatian terhadap aspek ekonomis dan perhatian terhadap aspek sosial
serta lingkungannya dalam rangka
mencapai pembangunan berkelanjutan. Motif
perusahaan dalam melakukan
program Corporate Social Responsibility beragam.
Motif tersebut biasanya
bersifat pemberian program dalam bentuk
charity (amal atau
derma), image building
(promosi), tax-facility
(fasilitas pajak), security prosperity
(keamanan dan peningkatan
kesejahteraan), atau bahkan money laundering (Achda dalam Febriana,
2008). Hal ini terlihat dari survey
yang dilakukan Saidi
(2003) bahwa 226
perusahaan di 10
kota di Indonesia, ditemukan
masih bermuatan promosi
dan kepentingan bisnis
pada kegiatan sumbangan sosial. Terlebih lagi dengan munculnya peraturan
pemerintah yang mewajibkan perusahaan
melaksanakan program Corporate
Social Responsibility. Kewajiban
pelaksanaan Corporate Social
Responsibility di Indonesia didasari atas UU Perseroan Terbatas
No.40 Tahun 2007 pasal 74, yang berbunyi; “Setiap perseroan diwajibkan
mengalokasikan sebagian laba bersih tahunan perseroan untuk melaksanakan
tanggung jawab sosial
dan lingkungan atau CSR.”. PT. Unilever Indonesia
Tbk merupakan salah
satu perusahaan yang menyediakan berbagai kebutuhan konsumen
memberikan perhatian lebih terhadap program
Corporate Social Responsibility. Sebagai
bentuk implementasi Corporate Social
Responsibility, perusahaan melaksanakan
salah satu program terkait dengan kepedulian
terhadap lingkungan yaitu program Jakarta Green and Clean. Program Jakarta
Green and Clean merupakan bentuk replikasi program Green
and Clean yang sebelumnya berhasil
dilaksanakan untuk pertama kalinya Di
Surabaya. Pelaksanaan
program tersebut didasari
oleh pemikir an perusahaan
untuk menjadi bagian
dari solusi per masalahan
lingkungan khususnya masalah sampah. PT.
Unilever Indonesia Tbk
ingin menjadikan masyarakat
sebagai pembentuk kekuatan dan agen peubah dalam mengatasi masalah sampah.
C.
Perubahan Paradigma Pembangunan Pedesaan
Di banyak negara, fenomena kesenjangan perkembangan antara
wilayah selalu ada sehingga ada wilayah-wilayah yang sudah maju dan berkembang
dan ada wilayah- wilayah yang masih
kurang berkembang dan tertinggal. Untuk mengatasi kesenjangan itu, setiap
negara mencoba melakukan tindakan intervensi untuk mengurangi tingkat
kesenjangan antara wilayah tersebut.
Di Indonesia, kesenjangan antar wilayah itu terjadi akibat
kebijakan pembangunan yang bersifat sentralistik. Dengan kebijakan pembangunan
yang sentralistik ini berdampak pada disparitas dan ketidakmerataan pembangunan
antara satu kawasan dengan kawasan/daerah lainnya.
Masalah krusial dalam pengembangan wilayah adalah
terkonsentrasi kegiatan ekonomi di pulau Jawa dan wilayah tertentu di luar
Jawa, ketidakmerataan akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya wilayah,
tingginya tingkat kemiskinan di pedesaan dan masih besarnya kesenjangan
perkembangan antar wilayah dan antara desa dan kota.
Salah satu faktor terjadi kesenjangan antara desa dan kota
karena pembangunan ekonomi sebelumnya cenderung bias kota (urban bias). Akibat
pembangunan yang bias perkotaan itu maka sektor pertanian, yang identik dengan
ekonomi perdesaan, terus merosotnya sumbangannya terhadap produk domestik bruto
(PDB). Dibandingkan dengan pertumbuhan
sektor industri dan jasa, yang identik dengan ekonomi perkotaan, sektor
pertanian terus mengalami ketertinggalan (A.Effendy Choirie, 2009).
Mengubah Cara Pandang
Kecenderungan stigma yang melekat pada masyarakat pedesaan
selalu diidentikan dengan perilaku dan sikap yang diangap kolot dan
tradisional, yang dilawankan dengan sikap dan perilaku orang kota yang maju dan
modern. Terjadinya keterbelakangan sosial masyarakat desa dalam pembangunan
dinisbatkan karena sulitnya masyarakat desa menerima budaya modernisasi, sulit
untuk menerima teknologi baru, malas, dan tidak mempunyai motivasi yang kuat,
merasa cukup puas dengan pemenuhan kebutuhan subsisten (kebutuhan pokok yang
paling dasar), dan budaya shared poverty (berbagi kemiskinan bersama) (Bambang
Prakoso, 2008).
Cara pandang seperti itu, harus saatnya dirubah secara
total. Karena perilaku dan sikap yang dinisbatkan ke masyarakat pedesaan yang
cenderung negatif itu tidak seluruhnya benar secara empiris. Faktor-faktor
kemiskinan yang terjadi di masyarakat pedesaan cenderung lebih bersifat
struktural dibandingkan bersifat kultural. Mereka miskin bukan karena mereka
malas dan sulit menerima perubahan tetapi karena faktor struktur yang ada yang
kurang berpihak pada masyarakat pedesaan.
Secara empiris, daerah-daerah yang tertinggal umumnya
memiliki kondisi kualitas sumberdaya yang relarif rendah, potensi sumberdaya
alam yang terbatas atau belum dimanfaatkan secara optimal, aliran investasi
yang rendah, ketersediaan infrastruktur yang kurang memadai, dan kapasitas
lembaga sosial-ekonomi yang juga kurang memadai. Hal ini kemudian menyebabkan
produksi kurang berkembang, kesempatan kerja rendah yang pada akhirnya
pendapatan masyarakat juga menjadi rendah.
Pembangunan Berbasis Desa
Dalam rangka untuk mengatasi kesenjangan antar wilayah serta
antara desa dan kota, Pemerintah menyadari perlu ada perubahan paradigma dalam
melihat desa. Sehubungan dengan itu, dalam upaya untuk mempercepat pengentasan
daerah tertinggal, Kementerian Negera Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT)
melakukan perubahan paradigma pembangunan daerah tertinggal yang sebelumnya
berbasis pada kawasan menjadi berbasis pada pedesaan (base on village).
Pembangunan yang berbasis pedesaan sangat penting dan perlu
untuk memperkuat fondasi perekonomian negara, mempercepat pengentasan
kemiskinan dan pengurangan kesenjangan perkembangan antar wilayah. Sebagai
solusi bagi perubahan sosial, desa sebagai basis perubahan.
Dalam konteks itu maka sumber-sumber pertumbuhan ekonomi
harus digerakkan ke pedesaan sehingga desa menjadi tempat yang menarik sebagai
tempat tinggal dan mencari penghidupan. Infrastruktur desa, seperti irigasi,
sarana dan prasarana transportasi, listrik, telepon, sarana pendidikan,
kesehatan dan sarana-sarana lain yang dibutuhkan, harus bisa disediakan
sehingga memungkinkan desa maju dan berkembang.
Sehubungan dengan itu, skala prioritas yang dilakukan KPDT
bagi pembangunan daerah yang berbasis pada pengembangan pedesaan (rural based
development), antara lain mencakup (1) pengembangan
ekonomi lokal; (2) pemberdayaan masyarakat; (3) pembangunan prasarana dan
sarana; dan (4) pengembangan kelembagaan.
Untuk itu perlu adanya model intervensi terhadap proses
pembangunan pedesaan yang bertumpu pada paradigma perkotaan pedesaan (rural
urbanization) yang bertumpu pada pengembangan perkotaan dan pedesaan sebagai
kesatuan ekonomi dan kawasan, pengembangan kegiatan pertanian secara modern
melalui mekanisasi dan industrialisasi pertanian dan penerapan standar
pelayanan minimum yang sama antara desa dan kota.
Dalam upaya intervensi pembanguan pedesaan perlu
memperhatikan secara mendalam tentang “anatomi desa” sehingga tidak
kontraproduktif dalam membangun desa. Anatomi tersebut mencakup struktur
demografi masyarakat, karakteristik sosial budaya, karakterisktik
fisik/geografis, pola kegiatan usaha pertanian, pola keterkaitan ekonomi
desa-kota, sektor kelembagaan desa, dan karakteristik kawasan pemukiman.
Singkat kata, dalam pembangunan pedesaan harus berlandaskan
pada local wisdom dengan usaha-usaha yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh
KPDT tersebut diharapkan akan melahirkan desa pusat pertumbuhan. Dengan model
desa seperti ini, bisa saja desa akan melahirkan desa-desa yang maju dan
sejahtera.
|
Ilustrasi
Paradigma di Desa
Perubahan
Paradigma Pertanian Menjadi Industri Pertanian
Industri Pertanian menjadi
salah satu solusi alternatif jika menginginkan petani dapat merasakan secara
langsung manfaat dan peningkatan pendapatan dari sektor pertanian. Analis
Pertanian – Universitas Mataram Prof.DR. Suwarji, jum’at (03/01) menegaskan,
perubahan paradigma menuju Industri Pertanian harus dipersiapkan dari sekarang,
meski road map Dinas Pertanian dan Holtikultura NTB merencanakan perubahan
paradigma dimulai tahun 2014.
Menurut Prof.Suwarji
perubahan paradigma pembangunan pertanian menjadi industri pertanian, sangat
membantu terhadap penyerapan tenaga kerja, mengingat tenaga kerja tidak hanya
dibutuhkan pada saat pra maupun produksi, tetapi lebih penting ketika memasuki
tahapan pasca produksi. Dengan demikian
dampaknya kedepan, tidak hanya dirasakan petani yang memiliki posisi tawar
menjadi semakin baik dengan perubahan harga produksi pertanian, tetapi bahan
olahan hasil pertanian dapat menjadi komoditi ekspor.
Kepala Dinas Pertanian dan
Holtikultura NTB mengakui perubahan paradigma menjadi Industri Pertanian mulai
dioperasionalkan tahun 2012 dengan terlebih dahulu memperkuat komitmen dan
penanaman pemahaman berpikir agar setiap aktivitas pertanian berorientasi pada
hasil dan keuntungan dengan mengedepankan sikap petani profesional. (NTB1)
Dampak Perubahan Paradigma
Pertanian
Pembangunan sektor
pertanian mengalami perubahan paradigma dari subsistem untuk memenuhi kecukupan
hidup menjadi sebuah bisnis yang menganggap pertanian merupakan
"pabrik" yang dapat dikendalikan secara pasti, tanpa lagi tergantung
pada iklim.
"Perubahan paradigma
pertanian itu terjadi pada abad ke-19 yang ditandai dengan berbagai penemuan
ilmiah seperti bibit unggul yang sangat tinggi daya serap unsur haranya,"
kata Dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana Doktor Ni Luh Kartini, di
Denpasar, Selasa.
Ia mengatakan kondisi itu
juga menyebabkan cepat tersedianya pupuk kimia, pestisida kimia yang sistematik
sehingga menyebabkan sistem pertanian tradisional dengan bibit lokal, pupuk kandang,
sampah abu bakar dan kegiatan lain yang dinilai tidak menguntungkan
ditinggalkan petani.
Petani beralih ke sistem
pertanian modern (revolusi hijau) dengan sasaran terlebih dulu pada tanaman
padi yang dikenal dengan program "Sentra padi" (1975), BIMAS (1965)
dan Supra Insus (1984), bahkan dalam beberapa tahun berikutnya menjangkau
tanaman hortikultura dan tanaman perkebunan.
Luh Kartini menambahkan,
kondisi tersebut tanpa disadari menurunkan produktivitas sumber daya alam
pertanian yang ditandai dengan berkurangnya hasil pada lahan sawah serta
kehilangan keanekaragaman hayati yang sangat mendukung proses alami di dalam
tanah.
Degradasi sumber daya alam
pertanian secara terus menerus terjadi tidak mampu dihentikan seperti bahan
kadar organik tanah menurun, kadar air tanah dan pH tanah berkurang. Kondisi
tersebut juga menyebabkan populasi cacing dalam tanah rendah sehingga
mengakibatkan kehilangan keanekaragaman hayati.
Dengan demikian, menurut
dia, revolusi hijau telah membawa petani meninggalkan pertanian tradisional,
sehingga mereka tidak lagi memanfaatkan sumber daya alam lokal yang diwarisi
secara turun temurun."Akibatnya, mereka sangat tergantung dari produk luar
yang mengandung zat-zat kimia yang sangat mengganggu kelestarian lingkungan,"
katanya. Selain itu, menurut dia, petani tidak lagi mencintai dan melindungi
sumber daya alam pertanian yang dimiliki, karena merasa semuanya tidak
menguntungkan lagi, dan sudah digantikan dengan sumber daya yang lain.
"Padahal semua itu sangat merugikan dan menimbulkan pencemaran," kata
Luh Kartini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar